Pergerakan Mempertahankan Kemerdekaan di Utan

Oleh : Poetra Adi Soeryo

(Sekilas Tentang Dewa Maja Paruwa)

Utan cukup istimewa dalam sejarah perjalan Kesultanan Sumbawa. Di Utanlah untuk pertama kali sebuah Kerajaan Islam bernama Sumbawa berdiri pada tanggal dilantiknya Sang Raja Pertama bernama Dewa Mascini pada tanggal 30 November 1648 (Laporan Speelman). Sebelum masuk ke peristiwa pasca proklamasi 17 Agustus 1945, ada baiknya sedikit kita kilas balik tentang Utan sebagai pusat pemerintahan pertama Kerajaan Islam Sumbawa.

Kerajaan Islam Sumbawa di Utan adalah united state atau gabungan dari berbagai kedatuan yang ada di Sumbawa dari Empang hingga Jerewe. Sebagai sebuah entitas geografis, wilayah ini adalah taklukan Karaeng Matoaya dalam dua kali ekspedisi militer pengislaman oleh Kesultanan Makasar. Ekspedisi milter terakhir disebut dengan nama perang Sariyu. Karaeng Matoaya adalah Raja Tallo Mangkubumi Kesultanan Makasar dengan Sultan Alauddin (Ponaan Matoaya) dari Kerajaan Gowa sebagai pucuk pimpinan tertinggi.

Ekspedisi militer tersebut terjadi di era Ayah dari Dewa Mascini bernama Dewa Maja Paruwa. Ekspedisi militer artinya sebuah penaklukan entitas pemerintahan, yang dalam hal ini bukan berarti Islam baru masuk Sumbawa saat penaklukan tersebut. Karena sebagian masyarakat dan beberapa Kedatuan seperti Gunung Galesa di Sumbawa telah memeluk Islam sebelumnya. Namun momen ekspedisi militer Karaeng Matoaya menjadi titik penting dalam sejarah Islam di Sumbawa karena penaklukan struktural tersebut adalah awal dari Kerajaan Sumbawa menerima Islam sebagai agama resmi, yang di dalamnya tergabung seluruh Kedatuan-Kedatuan kecil yang pernah ada di Sumbawa.

Dewa Maja Paruwa didampingi oleh Nene Ranga Kiku Nene Kalibela, Nene juru palasan menerima kekalahan dan menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1623 di hadapan Suru Kari Takwa namun rapang adat tana Samawa tidak diganggu. Setelah peristiwa tersebut Islam secara masif tersebar utamanya di kalangan bangsawan.

Raja Raja Hindu yang kemudian memeluk agama Islam di antaranya adalah Raja Kerajaan Taliwang Dewa Lengit Ling Kertasari, Raja Utan Kadali Dewa Lengit Ling Baremang dll. Dewa Maja Paruwa sendiri adalah nama kajuluk.

Dewa adalah panggilan untuk seorang pemimpin. Kata “dewa” dalam bahasa Indonesia diserap dari kata dewa atau daiwa (bahasa Sanskerta), yang berasal dari kata diw (bahasa India-Iran), yang berasal dari kata deiwos atau deywos (bahasa Proto-India-Eropa), yang merupakan turunan dari kata diw atau dyew yang bermakna “Cahaya atau Bersinar”. Kata dewa dalam bahasa Inggris (deity) berasal dari deité (bahasa Prancis Pertengahan), yang berasal dari deus (bahasa Latin), yang berasal dari devos atau deiuos (bahasa Latin Lama), yang berasal dari deiwos (bahasa Proto-Italia), yang pada akhirnya memiliki akar serupa dengan kata “dewa” dalam bahasa Indonesia, yaitu kata diw atau dyew dalam bahasa Proto-India-Eropa. Yang berasal dari kata dasar dalam bahasa Arab Diya’ yang artinya Cahaya Atau Bersinar. Artinya akar utama kata dewa yang terserap ke dalam berbagai bahasa berasal dari bahasa Arab Diya’, yang berarti Cahaya Atau Bersinar.

Sedangkan Maja adalah buah dari tumbuhan yang rasanya pahit yang banyak tumbuh di Sumbawa dan Nusantara di masa lalu yang menjadi perlambang kekuasaan dan kedigdayaan. Maja adalah batu steping stone kepemimpinan bagi seseorang sebagai penanda telah melalui ujian yang berat (pahit) hingga digdaya menjadi penguasa.

Sementara Paruwa berasal dari kata Purwa yang artinya yang pertama, atau yang terdahulu, atau yang permulaan. Untuk itulah ia disebut sebagai Dewa Maja Paruwa yang berarti Raja yang memiliki kedigdayaan dan yang terdahulu.

Hans Hagerdal dalam buku berjudul Hindu Rullers Muslim Subject menyebut Dewa Maja Paruwa bernama Adipati Topati. Ia memiliki tiga orang istri, yang pertama adalah seorang putri dari kerajaan di Sumbawa, melahirkan: 1. Mas Penghulu (perempuan), 2. Mas Cini Atau biasa tercatat Pemban Aji Komala atau biasa disebut Pangeran Pemayaman atau Mas Pamayam lalu di bebrapa catatan disebut Raden Untalan, 3. Mas Gowa. 4. Mas Surabaya (perempuan).

Mas Cini kemudian menjadi Raja pertama Sumbawa, Mas Gowa menjadi Raja kedua Sumbawa. Sementara Mas Surabaya dan Mas Penghulu dinikahi oleh pangeran dari Banjar bernama Raden Subangsa atau yang biasa disebut Pangeran Taliwang. Mas Penghulu melahirkan anak bernama Raden Mataram*.Sementara Mas Surabaya melahirkan anak bernama Mas Bantan Datu Loka yang kemudian menjadi Raja ketiga Sumbawa bergelar Sultan Harun Alrasyid.

Mas Bantan adalah raja Sumbawa pertama bergelar Sultan sekaligus yang pertama mengawali Dinasti Dewa Dalam Bawa dan untuk pertama kali pula kerajaan Sumbawa disebut Kesultanan Sumbawa dalam catatan bangsa lain. Penamaan Dinasti Dewa Dalam Bawa untuk menunjukan fusi struktural dengan para bangsawan trah kedatuan Gunung Galesa di Karang Bawa (Sumbawa) yang ditandai dengan dipindahkannya pusat pemerintahan oleh Mas Bantan dari Utan ke sekitaran Karang Bawa di Samawa Datu. Hingga tahun 1674, yaitu tahun terakhir kekuasaan Mas Gowa, posisi pemerintahan masih berada di Utan.

Hal tersebut dibuktikan di dalam kontrak tanggal 12 Juni 1674 antara utusan Mas Gowa bernama Nene Martani dengan VOC di Makasar yang menyebut Mas Gowa sebagai Raja Sumbawa, Pembesar di Negeri Utan. Dari trah Mas Bantan lah Sultan Sultan Sumbawa turun temurun hingga hari ini. Demikian dengan Datu Datu di Kamutar Telu (Seran, Taliwang, Jerewe) di era mas Bantan diposisikan anak anaknya sebagai Datu, yaitu Datu Bala Sawo menjadi Datu Seran, Amasa Samawa Dewa Mas Madina menjadi Datu Taliwang yang kemudian sepeninggal sang ayah dinobatkan menjadi Sultan Sumbawa, dan Mas Palembang Dewa Maja Djerewe menjadi Datu Jerewe.Kembali ke Dewa Maja Paruwa, Istri kedua adalah seorang putri dari kerajaan di Bali yang melahirkan anak bernama Amas Malin dan Amas Acin.

Dalam surat diplomatik Dewa Mas Gowa ke Batavia pada tanggal 7 Mei 1676 (dua tahun setelah dilengserkan), Mas Gowa meminta perlindungan atas Amas Malin dan Amas Acin setelah kudeta yang dialami oleh Mas Gowa. Namun demikian Mas Gowa mengatakan mereka berdua tidak boleh menjadi pengganti dirinya karena mereka trah Bali bukan trah Sumbawa. Istri ketiga dari Dewa Maja Paruwa tidak diketahui asalnya namun melahirkan seorang anak bernama Raden Munda yang kemudian menjadi Raja Selaparang. Kisah Raden Munda dalam memimpin Selaparang diceritakan secara baik oleh Hans Hagerdal hingga meninggalkan Selaparang dan tinggal di Surabaya karena tak kuat menghadapi tekanan dari Bali, anaknya kemudian melanjutkan kepemimpinan sebagai Raja Selaparang.

(Pergolakan Pemuda Utan Pasca Proklamasi 1945)

Detail sejarah Dewa Maja Paruwa akan kita lanjutkan di lain waktu. Sekarang kita kembali ke tema pergerakan kemerdekaan di Utan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya tentang pergolakan di Alas, bahwa gerakan rakyat mempertahankan semangat proklamasi 17 agustus terjadi di seluruh daerah di sumbawa, tidak terkecuali rakyat di Kademungan Utan.

Seirama dengan gerakan di tempat tempat lain, di Utan para pemuda membentuk organisasi illegal yang dinamai Kebangkitan Rakyat Indonesia (KRI). Meskipun organisasi ini berlainan nama di tiap Kademungan, namun gerakan ini berada dibawah komando Gerakan Pusat di Sumbawa Kota.

Susunan organisasi KRI Utan adalah: Ketua, Lalu Inder Alam, Wakil Ketua: Ahmad M, Dapur Umum: Abo, Dahlan, M. Djabir. Perlengkapan: H. Arsjad, H. Saruji. Dokumentasi: Mustafa dan Ali. Persenjataan: Menre. Pasukan Penggempur: H. Arsjad, Gemar, Darusi. Pasukan Cadangan: Biawan, Kader, Ake. Penyelidik: M. Sadik, H. Sarudji, H. Damhoedji. Penghubung: Pajuk (Guru), Atji, Ibrahim.

Dalam bulan januari 1946 Wakil Ketua KRI saudara Ahmad M. diambil oleh tentara NICA dari Alas dengan kekuatan satu regu dibawa dan di sekap selama dua hari. KRI terus mengadakan konsolidasi organisasi. Saudara Kosmin dan Kosam datiag ke Utan untuk memberikan pengarahan serta penyempurnaan organisasi. H. Arsjad Ketua Bagian Perlengkapan/Pasukan Penggepur KRI terus melakukan Pembaiatan kepada para pejuang di suatu tempat khusus, sedang Menre (Polisi) Bagian persenjataan KRI melatih para pejuang cara menggunakan senjata.

Akhir oktober 1946, saudara Lily didatangi oleh Pajuk Bagian Penghubung KRI yang datang dari Alas memintanya hadir memberikan pengarahan pemantapan perjuangan KRI Utan di rumah H. Sarudji. Kemudian dalam bulan nopember 1946 Kosam datang lagi di Utan didampingi oleh Muhammad (Bima), mereka dalam perjalanan dari Alas menuju Sumbawa dan singgah di Utan menemui Ahmad. M, Wakil Ketua KRI. Mereka membicarakan hal yang menyangkut persiapan perjuangan; dan menjelang akhir pembicaraan, Ahmad. M, mengingatkan kembali kepada Kosam, agar bilamana hari H sudah ditetapkan, agar sebelumya ada kurier yang menyampaikan pesan.

Pada tanggal 5 januari 1947, tiba-tiba hubungan telepon Utan – Sumbawa terputus. Segera Ahmad M. mengadakan pembicaraan dengan Bagian Penghubung KRI untuk mengirim kurier menemui Pusat komando di Sumbawa. Kurier terdiri dari : Atji dan Ibrahim dengan menunggangi kuda, Ahmad M berangkat pada hari itu juga dengan menyamar sebagai penjual barang antik.

Setiba di sumbawa, kota Sumbawa dalam keadaan lengang, yang berkeliaran hanya Otto hitam yang penuh dengan para pejuang yang ditangkap oleh serdadu NICA. Dan kedua merekapun turut ditangkap, ditahan dan diinterogasi di Camp NICA selama dua hari. Pada tanggal 5 januari 1947 siang hari, Mustafa bagian dokumentasi KRI tiba dari Sumbawa setelah menghadiri konfrensi PERGIS (Persatuan Guru Indonesia Sumbawa), tiba tiba tersiar berita Mustafa bunuh diri dengan pisau dapur di rumah kediaman Badu A. Razak Kepala SR.

Dalam keadaan terlentang Mustafa berbicara secara isyarat ingin menulis. Badu A. Razak memberikan Batu Tulis. Mustafa menulis di Batu Tulis tersebut “saya membunuh diri karena tak ingin dijajah keparat Belanda”. Tidak lama kemudian tiba Otto hitam dengan seorang dokter Belanda/NICA. Dan dengan Otto tersebut Mustafa dibawa ke RSU Sumbawa kemudian meninggal dan dimakamkan di Makam Samapuin.

Aksi tentara NICA dalam operasinya tanggal 5 Januari 1947 menangkap Ahmad M, H. Saruji dan M. Sadik. Sesaat setelah peristiwa Mustafa, mereka langsung dibawa ke Alas dan di atas Otto mereka disiksa oleh serdadu NICA. Pada tanggal 7 Januari 1947 Ahmad M, H. Saruji dan M. Sadik bersama para pejuang dari Alas, Seteluk, Taliwang dan Jerewe diangkut ke Sumbawa dan langsung disekap di Camp NICA (Lapas Sumbawa). H. Arsyad diambil dan diintrogasi beberapa hari di Penjara Sumbawa tempat para pejuang diperiksa di PV.

H. Saruji dan M. Sadik dibebaskan pada pembebasan gelombang I, sedangkan Ahmad M dibebaskan pada pembebasan gelombang IV bersama Lalu Indermawan dan Lalu Dajat pejuang dari Alas.

(*Catatan: ada perbedaan data antara Hans Hagerdal dengan Hikayat Banjar: Hagerdal menyebut ibu dari Mas Bantan adalah Mas Surabaya, sementara Hikayat Banjar menyebut ibu dari Mas Bantan adalah Mas Penghulu, meski saya lebih setuju dengan hikayat Banjar namun karena referensi penulisan ini mengikuti buku Hans Hagerdal maka dalam tulisan ini saya mengikuti Hans Hagerdal. Selain memperistri dua putri Dewa Maja Paruwa, berdasar Hikayat Banjar Raden Subangsa juga memiliki istri di Banjar dan melahirkan 3 orang putri bernama Gusti Yada, Gusti Tika dan Gusti Pika)

Sumber : https://www.facebook.com/groups/735329700749148/permalink/954393925509390/?app=fbl

Pos ini dipublikasikan di Pergerakan mempertahankan kemerdekaan di utan dan tag . Tandai permalink.

sapalah kami dengan komentar anda