NILAI-NILAI FILOSOFI DALAM PROSESI PERKAWINAN SUMBAWA

WhatsApp Image 2022-01-05 at 21.24.41Dalam setiap daerah di Indonesia terdapat prosesi perkawinan dengan ciri khas dan keunikannya masing-masing, begitu pula dengan kabupaten Sumbawa. Dalam tulisan ini, selain akan dikupas secara detail tentang prosesi perkawinan Sumbawa mulai dari bejajag sampai basai, juga akan dijelaskan tentang nilai-nilai filosofi yang terkandung didalam masing-masing prosesi tersebut. Prosesi perkawinan yang akan dijelaskan adalah prosesi perkawinan

PROSESI PERKAWINAN DAERAH SUMBAWA

1.      Bejajag

Bajajag merupakan tahap awal yang penting dan sangat menentukan berhasil tidaknya sebuah perkawinan. Seorang jejaka yang menaruh hati pada seorang gadis sebelum resmi meminang memerlukan waktu khusus untuk mengadakan semacam observasi mengenai gadis tersebut. Biasanya kerabat dekatnya (saudara perempuan atau bibi) diutus bertandang ke rumah sang gadis untuk mengadakan pendekatan  sedemikian rupa sehingga segala data tentang gadis tersebut dapat diperoleh yang meliputi kepribadian, keterampilan, dsb, sudah tentu yang terpenting adalah kesungguhan sang gadis untuk berumah tangga. Biasanya data tersebut dipergunakan untuk lebih memantapkan persiapan si jejaka untuk segera meminang (rata-rata pasangan tersebut sudah pacaran sebelumnya).

2. Bakatoan

Bakatoan atau meminang dilaksanakan oleh sebuah tim kecil yang ditentukan oleh pihak keluarga laki-laki yang terdiri dari kerabat terdekat yang dituakan ditambah dengan tokoh-tokoh masyarakat yang disegani. Sebelum prosesi Bakatoan dilaksanakan, seorang kurir dari pihak laki-laki mendatangi orang tua pihak perempuan untuk memberitahukan bahwa akan datang rombongan dari pihak laki-laki pada waktu tertentu yang telah disepakati oleh pihak laki-laki.

3. Basaputis

Biasa juga disebut Saputis Ling. Pada tahap ini segala bentuk keperluan dari kedua belah pihak untuk mendukung suksesnya perkawinan dimusyawarahkan dan dibicarakan secara tuntas. Pihak perempuan yang menurut adat menjadi pelaksana hampir seluruh upacara, pada kesempatan itu menyatakan keperluan yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki yang biasanya dalam bahasa Sumbawa disebut Mako. Besar kecilnya keperluan tersebut tergantung hasil musyawarah antar keluarga perempuan. Pada saat inilah peran dukun atau sanro menonjol, seperti misalnya untuk menentukan hari baik bulan baik upacara selanjutnya. Tentu saja dengan tetap mempertimbangkan keinginan kedua belah pihak.

4. Bada’

Bada’ adalah pemberitahuan secara resmi kepada si gadis bahwa dia tidak lama lagi akan menikah. Petugas unutk itu biasanya ditunjuk istri tokoh-tokoh masyarakat yang disegani. Waktu yang dipilih pagi hari, dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

“Mulai ano ta, man mo mu lis tama, apa ya tu sabale sapara kauke si A anak si B”. Setelah mendengar ucapan itu, sang gadis biasanya langsung menangis ditingkahi oleh suara rantok (alat penumbuk padi) bertalu-talu seolah-olah menjadi publikasi spontan kepada masyarakat kampung bahwa seorang gadis telah akan meninggalkan masa remajanya.

5. Nyorong

Nyorong merupakan sebuah upacara adat dimana pihak keluarga calon pengantin laki-laki datang dengan rombongan yang cukup besar untuk menyerahkan bawaan kepada pihak keluarga calonn pengantin wanita. Upacara ini biasanya diiringi dengan kesenian Gong Genang dan Ratib Rebana Ode. Di pihak wanita telah menanti juga dalam jumlah yang cukup besar, wakil-wakil dari pihak keluarga dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Setelah diawali dengan basa-basi dalam acara berbalas pantun, maka barang-barang bawaanpun diserahkan.

6. Barodak Rapancar

Untuk mempersiapkan kedua mempelai dalam menghadapi upacara selanjutnya seperti layaknya yang terjadi pada etnik lain, di Sumbawapun di kenal apa yang disebut dengan Barodak Rapancar. Dalam upacara tersebut, calon pengantin di lulur dengan ramuan tradisional yang disebut Odak. Odak dibuat dari ramuan kulit-kulit beberapa jenis pohon yang serba guna yang diproses secara khusus (ditumbuk halus). Fungsi utama odak adalah agar kulit menjadi kuning dan halus. Di samping itu, dengan ramuan daun pancar (pemerah kuku), kedua mempelai di cat kukunya (kaki maupun tangan) oleh Ina Odak, petugas khusus sebagai juru rias. Selain yang bersifat fisik, selama menjalani proses barodak, kepada mereka diajarkan pula hal-hal yang berhubungan dengan persiapan menjadi suami istri, termasuk menjaga makanan/minuman.

7. Ete Ling

Dua atau tiga hari sebelum upacara terpenting yaitu Nikah tiba, 2 (dua) orang petugas agama (P3NTR) atas permintaan orang tua pihak wanita mendatangi calon pengantin wanita untuk secara resmi meminta jawaban dan keinginan sang gadis dinikahkan dengan calon pengantin pria. Pada saat itu, sang gadis menyampaikan maksudnya bahwa memang betul dia ingin dinikahkan dengan jejaka tersebut, dan meminta agar hal tyersebut disampaikan kepada orang tuanya. Ling (ucapan) tersebut disampaikan kepada orang tua, dan langsung saat itu dirundingkan apakah akad nikah nanti dilaksanakan sendiri olehg ayah sang gadis atau diwakilkan.

Bila segala sesuatu telah siap, maka dengan berpedoman pada jadwal waktu yang telah ditetapkan pada acara basaputis, maka upacara nikahpun akan segera dilaksanakan.

8. Nikah

Sebagai penganut agama Islam, bagi masyarakat Sumbawa sebenarnya inilah inti dari segala rangkaian upacara adat perkawinan. Petrugas agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang diundang dalam upacara ikut menjadi saksi telah terjadinya ikatan perkawinan yang suci dan sangat disucikan. Kembang-kembang nikah yang ditancapkan mengelilingi sebatang pohon pisang yang diletakkan dalam sebuah bokor kuningan berisi beras dibagi-bagikan kepada hadirin.

9. Basai

Pada upacara inilah kedua mempelai menjadi raja sehari. Publikasi kepada seluruh warga masyarakat tentang perkawinan mereka dilaksanakan sepenuhnya lewat upacara basai. Gemerincing uang logam yang diberikan oleh hadirin dalam acara Barupa yang ditingkahi dengan puisi lisan tradisional (lawas) merupakan pesan-pesan moral terselubung yang sukar untuk dilupakan oleh kedua mempelai.

Setelah memperhatikan seluruh rangkaian prosesi perkawinan etnik Sumbawa, dapat ditangkap sekaligus dikaji beberapa pesan atau nilai-nilai terselubung yang dpat dijadikan acuan kehidupan masa kini, antara lain :

  1. Setiap memulai sebuah pekerjaan, harus ada perencanaan yang matang. Dalam setiap pengambilan keputusan harus didukung oleh data yang akurat (lihat bejajag).
  2. Segala sesuatu yang menyangkut keperluan orang banyak dan prediksi ke masa depan perlu dimusyawarahkan terlebih dahulu (basaputis)
  3. Sebagai orang tua, kita tidak boleh bersikap otoriter (lihat tahap ete ling)
  4. Perilaku disiplin harus ditegakkan. Putusan yang telah disepakati dalam upacara basaputis harus dihormati atau dijunjung tinggi. Bila dalam upacara nyorong, pihak laki-laki tidak memenuhi kesepakatan, pihak perempuan akan menegur secara halus dengan ungkapan : jaran tu nti tali, tau tu nti karante, yang artinya : kuda kita pegang talinya, sedangkan orang kita pegang ucapannya.
  5. Sabalong Samalewa. Pemilihan sirih pada odak harus dipilih daun sirih yang terbaik dengan tulang daun yang teratur sehingga 3 (tiga) garis tulang daun bertumpu pada satu titik. Ini adalah perlambang harmoni antara tiga kepentingan, yaitu ; pihak laki-laki, pihak perempuan, dan masyarakat.
  6. Pemilihan pohon pisang untuk menancapkan kembang nikah bukan tanpa makna. Dengan memilih pisang dihajatkan kedua mempelai akan seia sekata sampai akhir hayat. Hal ini dikuatkan oleh puisi Sumbawa :

Tulang tempa ko den punti

Guger no si tendri tana

Mate bakolar ke lolo

Artinya :

Coba lihat daun pisang

Bila luruh takkan pernah jatuh ke bumi

Sampai matipun dia tetaap melekat di pohon.

Ada beberapa lagi kandungan yang dapat digali dari khasanah upacara tersebut yang kalau kita simak secara mendalam, semuanya bermuara pada kebahagiaan hidup. Barangkali sudah waktunya kita melestarikan nilai-nilai tersebut. Barangkali secara fisik upacara-upacara tersebut ada yang sudah tidak cocok dengan kehendak zaman, dan harus di modifikasi, tapi ”roh” nya perlu dipertahankan karena bagaimanapun nilai-nilai tersebut merupakan rambu-rambu moral dalam kita menghadapi hingar binbgarnya arus globalisasi, agar kita tidak tercerabut dari akar budaya kita sendiri.

***Yang mengcopy Paste tulisan ini harap mencantumkan Sumbernya guna kita menghargai Tulisan dan karya seseorang agar kita anda tidak dikatakan PLAGIAT

sapalah kami dengan komentar anda