STRARTIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SUMBAWA DALAM CATATAN LIGVOET TAHUN 1876 ERA PEMERINTAHAN SULTAN AMRULLAH

Oleh : Poetra Adi Soeryo

Ligvoet membagi penduduk kerajaan Sumbawa pada masa pemerintahan Sultan Amarullah dalam lima kelas yaitu ; Bangsawan (adel), Tau Juran, Tau Kamutar, Orang-orang asing (vreemdelingen) dan Budak. Di antara kelas bangsawan paling sedikit ada dua tingkatan yang terbentuk berdasarkan atau menurut jauh dekat hubungannya dengan sultan melalui perkawinan yaitu, Datu dan Dea, bahkan pada abad ke-20 terjadi mobilitas vertikal dari Dea ke Datu.

GOLONGAN BANGSAWAN

Hirarki tertinggi dari golongan bangsawan adalah sultan dan keluarganya serta para pejabat kerajaan lainnya. Sultan disebut Datu Mutar, sedangkan rakyat menyebutnya Dewa. Selain itu sultan juga memiliki berbagai nama atau gelar misalnya Dewa Meraja atau Dewa Mas Samawa. Setelah wafat, raja atau sultan mendapatkan gelar anumerta sesuai dengan nama tempat dia dimakamkan, misalnya Dewa Loka Ling Sampar, Dewa Ling Gunung Satia, Dewa Lenget Ling Dima dan lain-lain.

Anak laki-laki sultan dari perkawinannya dengan wanita sederajat disebut Datu, sedangkan anak dari Datu disebut Daeng. Gelar Datu tidak hanya dipakai oleh putra-putri kerajaan, juga oleh penguasa suatu daerah atau dikaitkan dengan nama tempat misalnya Datu Busing, penguasa daerah Ree. Anak dari Datu yang kawin dengan wanita golongan Dea bergelar Lalu atau raden untuk laki-laki, Lala untuk perempuan, gelar ini dipakai juga oleh anak-anak sultan dari perkawinannya dengan perempuan yang bukan bangsawan.

Anak laki-laki sultan dari istri kelas yang lebih rendah ada kalanya dipanggil Intan atau Mas dan pada usia 10 atau 12 tahun mereka akan mendapatkan gelar Daeng. Anak yang lahir dari perkawinan lalu dan lala disebut raden penganten, sedangkan anak yang dilahirkan dari perkawinan raden penganten bergelar raden. Gelar Raden sama dengan Dea, termasuk gelar kebangsawanan yang tidak berasal dari kerajaan Sumbawa tetapi masih termasuk keturunan atau memiliki hubungan darah dengan dinasti sebelumnya, yaitu Dinasti Ai’ Koening.

Anak Raden atau Dea dari perkawinannya dengan wanita kelas rendah tidak diberi gelar kebangsawanan, oleh karena itu mereka tidak bisa disebut sebagai keturunan Ai’-Koening, tetapi hanya berasal dari Ai’-Koening saja. Demikian juga anak yang lahir dari perkawinan seorang yang bergelar dea dengan perempuan dari rakyat biasa tidak mendapatkan gelar, tetapi mereka dipandang sebagai keluarga kerajaan dikenal dengan nama Ai’-Koening atau Atsal Ai’-Koening. Anak datu yang kawin dengan wanita biasa disebut raden atau panggilannya lalu (untuk laki-laki) dan lala untuk anak pertempuan.

Perkawinan campuran antara golongan bangsawan dengan wanita biasa, dapat menurunkan nilai kebangsawanan sehingga sedapat mungkin dihindari. Putri (anak wanita) seorang Datu tidak diizinkan kawin dengan lelaki dari golongan yang lebih rendah. Sebelum terbentuknya kerajaan, golongan Dea adalah penguasa daerah tertentu misalnya : Dea Longan. Dea Ngeru, Dea Sekayin, dan lain-lain. Oleh karena itu gelar Dea itu ada dua, pertama yang asli dan turun-temurun (adellijk titels), sedangkan yang kedua, diberikan oleh raja (ambtelijk titels) karena jasa-jasanya.

Setelah kemerdekaan para dea ini menjadi kepala distrik dengan sebutan demung, sedangkan wilayahnya disebut kademungan. Jabatan demung kemudian berganti nama menjadi camat, sedangkan wilayah kekuasaannya disebut kecamatan. Anak dari Dea disebut lalu (untuk laki-laki) dan lala untuk perempuan. Anak dari lalu (golongan Dea) yang kawin dengan orang biasa disebut anak ajang.

GOLONGAN TAU JURAN DAN TAU KAMUTAR

Tau Juran dan Tau Kamutar adalah lapisan (strata) bawah dari orang-orang Sumbawa yang merdeka, tetapi semua beban pajak baik dalam bentuk uang maupun benda/barang (in natura) dibebankan kepada kelompok ini, termasuk kerja paksa (heerendiensten). Jika Tau Juran lebih banyak yang membayar pajak maka Tau Kamutar umumnya lebih banyak melakukan kerja paksa. Karena nilai uang dianggap lebih tinggi dari pada nilai kerja, maka diferensiasi terjadi antara kedua golongan rakyat tersebut. Meskipun terjadi hubungan horinzontal antara keduanya, tetapi Tau Juran menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya dari pada Tau Kamutar. Berbeda dengaqn Logvoet, Helius Syamsuddin justru memandangnya terbalik. Dilihat dari hubungan patron-client (sultan-Tau Juran dan sultan Tau-Kamutar). Justru Tau Kamutar adalah orang-orangnya sultan, artinya mereka langsung di bawah Datu Mutar (sultan Sumbawa).

Sebagian besar Tau Juran bermukim di ibukota kerajaan sehingga ibukota kerajaan disebut juga Tanah Juran. Mungkin karena lokasi bermukimnya lebih dekat dengan tempat tinggal sultan (istana) maka status mereka menjadi lebih tinggi dari pada tau kamutar. Di luar ibukota kerajaan Tau Juran bermukim di Kampung Panyaring, di sebelah timur ibukota. Tau Juran bertugas membantu mengerjakan dan menanami tanah sawah sultan atau umaji (dari uma= ladang dan aji= raja, jadi berarti sawah/ladang raja) tanpa mendapatkan upah atau im-balan. Jika ada seorang laki-laki Tau Juran kawin dengan wanita dari Tau Kamutar, anak yang pertama (tertua) menjadi Tau Juran, anak yang kedua menjadi Tau Kamutar dan anak yang ketiga kembali lagi menjadi Tau Juran, demikian seterusnya.

Menurut Ligvoet, Tau Kamutar dapat dibagi menjadi lima kelas (Rowe) yaitu: Bone Balla (dayang-dayang atau pembantu rumah tangga), Jowa (pesuruh laki-laki), Tuwan (ibu susuan/zoog-moeder), Tanuma (pengasuh anak/kindermeiden) dan Tau Rabowat Aji (orang pekerja sultan) khusus dari Ropang. Meskipun dari sisi hubungan patron-client, Tau Kamutar lebih dekat dengan Sultan, namun dari sisi pekerjaannya, Tau Juran lebih terhormat sehingga menganggap diri mereka lebih tinggi dari pada tau kamutar. Jika seorang laki-laki Tau Kamutar kawin dengan perempuan dari Tau Juran, maka anak tertuanya menjadi Tau Kamutar, anak kedua menjadi Tau Juran dan anak ketiga kembali lagi menjadi Tau Kamutar, demikian seterusnya. Menurut Ligvoet, Tau Kamutar bertugas mensuplay kayu sappan kepada gubernement, sedangkan Rabowat Aji (Raboat = bekerja dan aji = raja ) adalah “de werkleieden van den vorst“ (pekerja untuk raja) artinya hampir identik dengan para abdidalem di keraton-keraton Jawa.

GOLONGAN ORANG ASING

Orang asing maksudnya adalah pendatang dari luar Sumbawa, jumlah mereka di kerajaan Sumbawa cukup besar, sekitar 10.000 jiwa dari seluruh rakyat kerajaan Sumbawa yang jumlahnya sekitar 50.000 jiwa. Mereka terdiri dari orang-orang Makasar, Bugis, Selayar, Mandar dan Arab. Pada masa kemudian, awal abad ke-19 pendatang ke Sumbawa tidak hanya dari Lombok, tetapi juga dari Bali, Jawa dan orang-orang Cina. Para pendatang ini pada umumnya bermukim di antara ibukota dan daerah pesisir (pantai). Perkampungan orang Bugis misalnya terdapat di Panyorong dan Labu Padi di pantai barat, sedangkan di daerah pesisir di kampong Labuaji, Labu Jammu, Labu Bontong dan sebagian besar diantaranya bermukim di di sekitar pelabuhan Sumbawa, misalnya di Empang. Jika sultan pergi ke Makasar, tanpa ganti rugi mereka menyediakan kapal/perahu untuk sultan karena perdagangan laut di tangan mereka. Jika sultan, Dea Ranga atau pejabat kerajaan lainnya mengirim sesuatu dari tempat tinggalnya, pedagang Bugis Makasar menyediakan sampan dengan dua pendayung untuk mengangkut kiriman tersebut. Ada juga kemungkinan bahwa sebagian terbesar sahbandar di pelabuhan Sumbawa adalah orang Bugis.

GOLONGAN BUDAK (ULIN)
Munculnya golongan budak (tau ulin) dikalangan orang-orang Sumbawa pada awalnya karena bahaya kelaparan akibat meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815. Pada waktu itu banyak orang Sumbawa yang menjual diri atau menjual anak-anak mereka dengan segantang beras. Kelak keturunan mereka tetap menjadi budak. Sebelum meletusnya Gunung Tambora, di Sumbawa sudah dikenal budak yang dibawa dari Ende (Flores), atau perempuan-perempuan dari Jawa yang dirampas oleh bajak bajak laut yang merajalela abad ke-19 dan dijual. Selain budak atau tau ulin biasa, ada juga yang disebut budak hadat (tau ulin adat). Mereka menjadi budak karena tidak sanggup membayar denda setelah melakukan pelanggaran adat, sehingga mereka wajib kerja pada mangkubumi. Akhirnya ada juga budak karena hutang yang disebut pandelingen. Mereka berasal dari luar Sumbawa dan pada umumnya adalah para onderdanen (kawula) Belanda. Dengan alasan sebagai pandelingen mereka dibawa dengan perahu ke Sumbawa dan dijual, sehingga dengan demikian mereka praktis diperlukan sebagai budak.