​PERLAWANAN BUDAYA DAN REFLEKSI KEBERISLAMAN MASYARAKAT SASAMBO

Oleh : Prof.Mahsun

​PERLAWANAN BUDAYA DAN REFLEKSI KEBERISLAMAN MASYARAKAT SASAMBO

Ada dua wujud perlawanan budaya, yaitu mempertahankan unsur asli dan mengubah unsur yang mendapat pengaruh sehingga menjadi berbeda dengan yang  mempengaruhi. Mari kita amati fakta variasi dialektal bahasa Sasak yang tidak terjadi dalam bahasa Samawa atau bahasa Mbojo. Dalam bahasa Sasak dijumpai varian bunyi: a~a, a~e, e~e, dan a~o, misalnya masing-masing: mata ~ mate ~ mete ~ mato ‘mata’. Varian ini bersifat teratur, artinya,  dapat ditemukan pada data yang serupa. Dalam teori bahasa, apabila terdapat lebih dari satu varian dalam menyatakan satu makna, maka di antara varian itu ada yang asli dan ada yang berupa inovasi/pembaharuan. Unsur asli adalah varian a~a, sedangkan tiga varian lainnya merupakan hasil inovasi. Varian a~e merupakan inovasi eksternal, yaitu pengaruh dari bahasa Bali. Pemakaian varian ini sangat luas, yang menyebar dari Barat ke Timur pulau Lombok. Peta sebaran ini menggambarkan besarnya pengaruh kerajaan Karang Asem atas kerajan Selaparang, di Lombok. Varian a~o, merupakan pengaruh dari bahasa Jawa, pada saat vokal /a/, posisi akhir menjadi /o/ dalam bahasa Jawa, misalnya pada kata moto ‘mata’. Pengaruh Jawa ini terjadi sekitar abad kedelapan. Ada pun varian e~e adalah hasil inovasi internal yang dilakukan sendiri oleh penutur bahasa Sasak dengan cara mengubah unsur yang mendapat pengaruh Bali (Kerajaan karang Asem): a~e, melalui proses asimilasi regresif, vokal /e/ di akhir kata: mate mempengaruhi vokal /a/ di depannya, sehingga vokal tersebut menyesuaikan diri menjadi vokal /e/. Jadi, varian e~e merupakan upaya etnis Sasak untuk melawan pengaruh Bali dengan mengubah unsur yang mendapat pengaruh sehingga menjadi berbeda. Bentuk ini, sebarannya menarik karena ditemukan di desa Selaparang (saya menghipotesiskan wilayah ini dulunya merupakan wilayah kerajaan Selaparang). Dengan kata lain, tipe perlawanan budaya (lewat bahasa) yang pertama adalah mengubah unsur yang mendapat pengaruh sehingga berbeda dengan yang mempengaruhi. Tipe perlawanan kultural kedua, adalah mempertahankan unsur asli, dalam hal ini varian a~a. Tampaknya, etnis ini melakukan perlawanan  dengan upaya mempertahankan unsur asli. Menariknya, sebaran unsur perlawanan kultural tipe kedua ini menyebar di wilayah pinggiran Lombok timur dan di pegunungan, seperti di Sembalun, Bayan. Tampaknya, ketika kolonialisasi Karang Asem atas Selaparang, berlangsung, demi mempertahan identitas kultural (salah satunya dalam wujud bahasa) mereka rela bermigrasi ke wilayah-wilayah pinggiran dan pegunungan.  Ringkasnya, sekali lagi, ada dua wujud perlawanan kultural etnis Sasak, yaitu mempertahankan unsur asli atau mengubah unsur yang sudah mendapat pengaruh menjadi unsur yang berbeda dengan yang mempengaruhi. Dalam teori perbandingan bahasa, varian yang pertama adalah  varian a~a, lalu menurunkan varian: a~e, dan terakhir varian e~e. Persoalannya, mengapa etnis Sasak melalukan perlawanan budaya/kultural, sementara etnis Samawa dan Mbojo tidak melakukan hal serupa? Dalam redaksi lain, pertanyaannya menjadi bagaimanakah implikasi perlawanan kultural itu dalam domein keagamaan? Mengapa refleksi keberislaman etnis Sasak berbeda dengan refleksi keberislaman etnis Sanawa dan etnis Mbojo? Pada etnis  Sasak dikenal ungkapan “pulau seribu mesjid” dan ketokohan tokoh nonformal “tokoh tuan guru”, sementara pada masyarakat Samawa dan Mbojo kedua ungkapan itu tidaklah menjadi ciri etnis.  Padahal, asal persebaran islam pada ketiga etnis ini sama. Kerajaan Islam Jawa menguasai Lombok abad keenam belas. Pangeran Prapen yang membawa Islam ke Lombok juga menyebarkan Islam ke Sumbawa dan Bima. Sementara itu, awal abad keenam belas, orang Makassar  menyebarkan Islam sampai ke Lombok melalui Bima dan Sumbawa. Dalam perkembangan selanjutnya, sekitar abad ketujuh belas kerajaan karang Asem berhasil menaklukkan Lombok. Kolonialisasi yang dilakukan oleh karang Asem tidak hanya bersifat ekonomis, politis, tetapi bersifat kultural, seperti munculnya varian kebahasaan a~e yang merupakan ciri sistem bunyi bahasa Bali yang menyebar hampir ke seluruh pulau Lombok. Oleh karena kolonialisasi itu terjadi pula pada domein kultural, maka muncullah perlawanan kultural/budaya. Masih bertahannya unsur asli yang berupa varian a~a serta munculnya varian  tandingan e~e dalam bahasa Sasak merupakan refleksi dari perlawanan kultural dalam aspek kebahasaan. Tampaknya perlawanan kultural tidak hanya dilakukan dalam domein bahasa, tetapi juga muncul dalam domein agama. Munculnya budaya “seribu mesjid” merupakan bentuk tandingan dari etnis ini atas kultur Bali. Sebagaimana dimaklumi bahwa etnis Bali sangat taat dalam melaksanakan perintah agamanya. Setiap rumah orang yang beretnis Bali (beragama Hindu) selalu dibuat tempat beribadah yang berupa merajan. Ketika mereka sudah mencapai satu Banjar, lalu mereka mendirikan tempat beribadah bersama yang disebut pura. Refleksi keberagamaan itu, “dilawan” oleh etnis Sasak dengan memperlihatkan identitas keberagamaan mereka sebagai pemeluk Islam dengan mendirikan bangunan “mesjid”. Hampir di setiap gubug yang didiami etnis Sasak (muslim) selalu ditemukan bangunan mesjid, sehingga karena itu pulau Lombok  mendapat julukan pulau seribu mesjid. Pada etnis samawa dan Mbojo, hal itu tidak terjadi, karena meskipun kedua etnis ini dulunya juga mendapat kolonialisasi dari ketajaan Goa/ Makassar, namun karena sifat kolonialisasinya tidak  mencerabutkan etnis yang dijajah dari akar budayanya, maka tidak terjadi perlawanan budaya/kultural. Persyaratan ketaklukan kerajaan di Mbojo dan samawa cukup dengan mengucapkan dua kalima syahadat, sedangkan “rapang tana samawa” tidak diganggu gugat.  Dengan demikian, munculnya budaya seribu mesjid termasuk munculnya ketokohan pemimpin nonformal tuang guru merupakan refleksi dari perlawanan kultural etnis sasak dalam domein agama dan pemerintahan. Khusus yang terakhir, fenomena ketokohan pemimpin nonformal tuan guru sebagai wujud perlawan kultural domein pemerintahan  akan dijelaskan pada sesi lain, khususnya pembicaraan dengan topik “Perlawanan Kultural dan Suksesi Pemerintahan Daerah 2018: Sudah Terbukakah Peluang Tokoh dari Etnis Samawa dan Mbojo untuk DR 1?” Gagasan untuk menulis hal ini sudah muncul ketika beredar khabar TGB merestui Dr. Zulkiflimansyah untuk melanjutkan ikhtiarnya memimpin NTB. Ada sesepuh Sanawa yang bercerita bahwa beliau dengan beberapa teman menemui TGB menanyakan keseriusan beliau mendukung Pak Zul. Menurut beliau TGB setuju. (info itu disampaikan saat pertemuan IKS  beberapa bulan setelah halal bihalal yang menjadi awal munculnya opini mencalonkan Pak Zul. Mendengar berita itu, hati kecil saya tertawa, karena dari amatan akademik yang saya ketahui, itu hanya mungkin terjadi jika perlawanan kultural etnis Sasak dalam rangka Redefinisi diri sudah berakhir serta tokoh yang akan diganti adalah seorang negarawan, sehingga lebih objektif dan mementingkan kemajuan bangsa, khususnya NTB, sehingga mencalonkan penggantinya yang memiliki integritas dan kapasitas. Selama itu belum terjadi, saya pesimis. Menurut hemat saya, justru saat-saat ini perlawanan budaya itu sedang menapaki jalan menaik, belum menurun. Dalam konteks itu, sindiran dalam ama Sanawa berlaku: “Pekok-pekok kebo kaku”. Menarik untuk menjadi bahan renungan).

(Sekadar catatan, Sasambo: terminologi/ akronim Ini menurut saya terlalu dipaksakan dan cenderung menjadi slogan politis yang terkesan menyatukan ketiga etnis padahal dalam banyak aspek  bersifat semu).