ASAL USUL NAMA SUMBAWA: TENTANG CAMBABA-SUMBAWA-SAMAWA

ASAL USUL NAMA SUMBAWA: TENTANG CAMBABA-SUMBAWA-SAMAWA

Oleh: Poetra Adi Soerjo*

Banyak orang berpandangan bahwa kata “Samawa” lebih dahulu ada dibanding kata Sumbawa. Hal tersebut didasarkan pada sebuah analogi serampangan yang diyakini banyak orang bahwa kata Sumbawa muncul sebagai bentuk pengucapan dari lidah orang asing atas kata Samawa. Sebagaimana adagium kata Jawa yang lalu disebut Java di era kolonial. Adagium ini sudah saatnya digugat dengan melakukan penelitian mendalam melalui penelusuran rekam jejak dalam sejarah. Apakah benar kata Sumbawa lahir dari serapan kata Samawa atau jusru sebaliknya. Tulisan ini hendak mengajukan sebuah thesis baru di mana justru kata Sumbawa lah yang terlebih dahulu ada, baru muncul kata Samawa. Kata Samawa justru lahir sebagai dialeg orang lokal untuk menyebut kata Sumbawa yang sudah terlebih dahulu ada.

Untuk membuktikan thesis tersebut penulis mengajukan beberapa fakta sejarah sebagai bahan rational public discourse yang harus terus diuji oleh pembaca yang budiman. Pertama, nama kerajaan yang eksis di Sumbawa adalah Kesultanan Sumbawa, bukan Kesultanan Samawa. Kesultanan Sumbawa berdiri jauh sebeum era kolonial Belanda, yang berarti penentuan nama Sumbawa sebagai nama kerajaan terlepas dari intervensi langgam orang Belanda. Tidak ada data tertulis yang bisa dirujuk untuk memastikan kapan taggal dan tahun berdirinya kesultanan Sumbawa. Namun dari beberapa catatan tertulis disebutkan Kesultanan Sumbawa resmi menjadi nama kerajaan dalam masa dinasti Dewa Dalam Bawa pada abad ke 16. Dinasti Dewa Dalam Bawa ini menjadi tonggak sejarah penyatuan kerajaan kerajaan kecil di sumbawa yang lalu membentuk sebuah dinasti baru Kesultanan Islam. Dinasti Dewa Dalam bawa yang lalu menyebut nama kerajaannya dengan nama Kesultanan Sumbawa ini adalah pengganti dari Dinasti Awan Kuning.

Di masa Dinasti Dewa Awan Kuning kata Sumbawa dan ataupun Samawa belum muncul, karena nama daerah di Sumbawa diidentifikasi berdasar nama kerajaan kerajaan kecil. Masyarakat mengidentifikasi diri dan nama daerahnya berdasarkan nama Kerajaan tempat mereka bernaung, semisal kerajaan Gunung Galesa, Kerajaan Ai Renung, Utan Kadali dll, tidak ada yang menyebut dan atau mengenal Sumbawa atau Samawa. Inu pula penjelasab kenapa di abad ke 13 saat Majapahit mengklaim wilayah kekuasaannya melalui kitab negara Kertagama tidak muncul bama Sumbawa, yang muncul adalah taliwang, Seran, Hutan, Dompo. Ini karena masyarakat masih terkotak dalam kerajaan kerajaan kecil. Kata Sumbawa baru muncul sebagai nama Kerajaan di era Dinasti Dewa Dalam Bawa yang lalu menjadi semacam kesatuan identitas yang bisa mempersatukan ragam masyarakat dalam kerajaan kerajaan kecil di era Dinasti Awan Kuning. Lalu dari mana muncul nama Sumbawa. Istilah dan atau simbol yang dijadikan sebagai alat pemersatu tentu diambil dari lingua franca yang marak digunakan dan dikenal masyarakat. Nama Sumbawa ternyata sudah terlebih dahulu digunakan oleh penziarah dari eropa untuk merujuk bahwa pulau yang kini kita diami bernama Pulau Sumbawa.

Kedua, melalui ilmu toponimi, yaitu sejarah penamaan pulau pulau dalam peta. Mempelajari sejarah penamaan pulau dalam peta kuno akan membawa kita pada data historis dan historiografi kapan dan kenapa sebuah pulau dinamai dengan A atau B atau C oleh si pembuat Peta. Kepulauan Sunda Kecil mulai tampak dalam peta G. Mercator tahun 1569, di mana Peninsula Java sudah mulai terpisah dengan pulau pulau Sunda Kecil atau di beberapa peta lain disebut Java Minor. Adalah peta kuno karya Francisco Rodriges tahun 1513 yang pertama memberi nama atas pulau yang kini kita kenal dengan nama Sumbawa. Rodriges dalam petanya memberi nama “Ssimbaua”. Nama ini terus berubah dalam peta peta kuno berikutnya. Otelius dalam peta tahun 1570 menyebut Pulau Sumbawa dengan nama Pulau Cambaba. Lalu peta tahun 1594 karya Petrus Plancius menyebutnya dengan nama Cimbiaya. Dan peta kuno terakhir karya Willem Lodewijcksz tahun 1598 menyebutnya dengan istilah Çambawa. Setelah itu berbagai peta kuno lain menuliskan dengan nama Cambaba hingga di abad ke 19 di saat sistem pembuatan peta sudah modern nama pulau kita sudah dituliskan dengan nama pulau Soembawa seperti dalam peta Baron tahun 1856. Pulau Sumbawa menjadi kata terakhir dari metamorfosa nama Pulau kita hingga saat ini.

Dari sekian peta yang ada, nama Cambaba adalah nama yang paling banyak digunakan. Meski nama Ssimbaua dari francisco Rodriges lebih tua karena digunakan dalam peta tahun 1513, lalu Cambaba pertama muncul tahun 1570 oleh Otellius, namun antara Ssimbaua dan Cambaba memiliki satu kesatuan makna. Menjadi berbeda hanya dikarenakan oleh perbedaan langgam pembuat peta karena berasal dari negara yang berbeda bahasa. Untuk itulah setelah kedatangan Rodriges menjelajah Nusantara tahun 1505 dan mencatat nama Ssimbaua pada 1513, maka pembuat peta berikutnya lebih umum menggunakan kata Cambaba.

Ada juga beberapa catatan lain yang menjelaskan asal usul nama Sumbawa. Seperti dalam catatan Cornelis de Houtmen (1595) dari Perusahaan Belanda VoC menyebutnya dengan nama Cambava. Kemudian Roufer menyebut arti kata Sumbawa adalah Gajah Putih. Dan atau orang orang Portugis menyebut arti nama Cumbava sebagai Jeruk Purut. Dalam buku Domaine de Mon Plaisir seorang ahli Botani Portugis menemukan secara tidak sengaja campuran bumbu dapur yang baik aromanya pada tahun 1767. Pendek kata semua catatan tersebut menurut penulis statusnya Post Factum. Karena faktanya nama dan arti arti itu muncul belakangan setelah tulisan Rodriges pada 1513. Maka di sini penulis berpegang pada keterangan yang jauh lebih tua tentang asal dan arti nama Sumbawa yaitu dari Rodriges tahun 1513. Lalu apa arti kata yang diberikan oleh Rodriges tersebut?

Dari mana para penjelajah membuat nama sebuah pulau?. Dalam ilmu Toponimi nama pulau dibuat oleh para penjelajah didasarkan pada temuan benda, atau tumbuhan dan atau binatang yang khas ditemukan di pulau tersebut sebagai penanda dan atau informasi bagi penjelajah berikutnya yang lalu dituliskan dalam peta. Untuk itu peta peta kuno sebelum abad ke 15 terfokus pada keadaan peta laut “zeekarten”. Sehingga bentuk pulau dalam peta digambarkan dalam gambar binatang laut seperti ikan Paus, Buaya dan lain sebagainya sebagai penanda bahwa mereka menemukan hal hal tersebut dalam penjelajahan.

Lalu apa arti kata Cambaba?. Rodriges dalam penjelajahannya sebelum sampai ke Nusantara, terlebih dahulu melewati Afrika. Di Afrika Timur akhir abad ke- 14 Rodriges menemukan perdagangan batu mulia yang disebut Cambaba. Begitu juga dalam catatan perjalan Otiles sebagai orang pertama yang menyebut Istilah Cambaba, bahwa Cambaba adalah nama sebuah batu mulia yang menjadi alat tukar yang sangat bernilai saat itu di luar jalur Sutra. Batu Cambaba merupakan batu berwarna hijau yang kini istilah Cambaba diambil oleh sebuah perusahaan sebagai sebuah brand untuk barang barang mewah. Dari deskripsi pengertian nama Cambaba dalam karya karya pembuat peta kuno tersebut -meski tidak khusus menjelaskan tentang kenapa Pulau Sumbawa disebut Cambaba- namun penulis dapat menyimpulkan bahwa nama Cambaba untuk Pulau Sumbawa sangat dimungkinkan diakibatkan oleh sang pembuat peta menemukan Batu Cambaba -sebagaimana batu yang sebelumnya mereka temukan di Afrika- di Pulau yang kini kita kenal dengan nama Pulau Sumbawa.
Bantahan pada Sang Guru

Adalah Taufiq Rahzen orang Sumbawa yang terkenal sebagai Budayawan Asia kemudian memberikan pemaknaan lain atas terminologi Kata Sumbawa. Meski Taufiq Rahzen tidak mengenal penulis, namun bagi Penulis Taufiq Rahzen sudah lama menjelma menjadi Guru Imajiner yang penulis idolakan. Untuk meresapi sang Idola, Penulis sering nongkrong di Cafe Newsium tempat aktifitas Kabudayaan Taufiq Rahzen yang sering penulis sebut dengan singkatan “TR”. Persentuhan pemikiran dengan TR terkait terminologi kata Sumbawa adalah ketika penulis sedang fokus mendalami peta peta kuno untuk menemukan sejarah kata Sumbawa. Tak dinyana ternyata di bulan puasa tahun ini tanggal 27 Juli, TR memberikan ceramah kebudayaan tentang Sejarah Nama Sumbawa di Kampus ISBUD Sumbawa. Dari ceramah tersebut, Penulis mencoba untuk mendalami alam pemikiran TR tentang sejarah dan terminologi kata Sumbawa. Yang lalu penulis berkesimpulan bahwa basis pikiran TR terkait Sumbawa didasarkan pada pendekatan sejarah yang dicampur dengan kosmologi Hindu-Budha Jawa. Memang selalu menarik menelusuri sejarah melalui kitab Babad baik Jawa atau pun Bali, karena itulah satu satunya data tertulis yang bisa dikonsumsi. Namun menjadikan babad sebagai dasar pembenaran sejarah adalah penyederhanaan yang terlalu rapuh. Karena babad sendiri penuh dengan sengkalut labirin sejarah yang susah dibuktikan secara ilmiah. Babad Tanah Jawi semisal telah menjadi alat legitimasi kekuasaan dan claim historis bagi kerajaan Mataram (Pedalaman) untuk menghilangkan peran dan dinamika kerajaan kerajaan lain di Jawa terutama Kerajaan Pesisir. Konflik pembuktian yang sama juga kita temukan ketika berhadapan dengan Pupuh Pararaton dan ataupun kitab Negara Kertagama.

Namun antara penulis dan TR memiliki kesamaan pandangan bahwa nama Sumbawa lebih dahulu eksis dari nama Samawa. Untuk itulah fokus kajian filsafat kebudayaan TR adalah tentang geneologi diksi Sumbawa, bukan Samawa. Namun meski TR juga menggunakan teori Toponimi (ilmu penamaan Pulau), akan tetapi penulis berpandangan bahwa TR terlalu banyak dipengaruhi oleh pendekatan budaya dan falsafah Jawa. Bagi penulis, jika konsisten menggunakan ilmu Toponimi, maka untuk mengetahui sejarah penamaan sebuah Pulau cukup dengan mencari siapa pembuat peta awal yang memberikan nama pada sebuah Pulau, lalu carilah makna dalam pemikiran pembuat peta tersebut tentang kenapa pulau tersebut dinamakan A, B atau C tanpa dipercanggih dengan falsafah yang basis historisnya masih diragukan. Namun memang menggeluti budaya dan filsafat adalah sesuatu yang membuat orang asik sehingga menarik untuk didalami.

TR meyakini nama Sumbawa sudah muncul sejak abad ke 4 M, jauh sebelum Rodriges membuat peta Kuno yang memberi nama pulau kita dengan nama Ssimbawa. Sehingga mungkin juga pembuat peta kuno dari Eropa mengambil istilah Ssimbawa atau Cambaba dari nama yang sudah terlebih dahulu ada menjadi keyakinan masyarakat setempat. Salah satu pemikiran TR tentang sejarah nama Sumbawa diyakini berasal dari nama Ratna Sambawa. TR memandang bahwa sejak awal awal Masehi Sumbawa sudah menjadi pusat peradaban dunia sebagai tujuan para pencari kesejatian hidup untuk menemukan air kehidupan atau ma ul hayat (baca: Kisah Dewa Ruci), setelah dari Tibet. TR meyakini Ratna Sambawa yang berasal dari Pasemah (Palembang) melakukan perjalanan di era sebelum Sriwijaya hingga ke pulau yang kini kita kenal dengan nama Pulau Sumbawa. TR melihat ajaran Ratna Sambawa melekat dalam nilai dan kultur masyarakat Sumbawa yang lalu di masa Islam diadaptasi dengan kreatif dalam tradisi tradisi Islam. Sementara kata Besar di belakang kata Sumbawa dihubungkan dengan kepercayaan Mahayana dalam agama Budha yang berarti Maha (Besar). Di Tibet Ratna Sambawa kini menjadi nama pusat ajaran agama Budha untuk mengatur poros dunia. Ratna Sambawa mempengaruhi dunia diawali oleh adanya seorang Guru di banglades yang belajar dari Resi Dharmakirti dari Sriwijaya. Ajaran Dharmakirti ini kemudian dibawa oleh Atisyah ke Tibet. Ajaran ini masih dianut oleh kaum Budha Tibet yang turun temurun hingga sekarang melalui ajaran Dalailama. Salah satu ajaran Dharmakirti adalah Tong-len, yaitu kebenaran ditemukan melalui perdebatan dan seni. Dalam proses Tong-len kemudian muncul Kowan atau pencerahan pemikiran yang tiba tiba muncul dalam proses perdebatan. Itulah kenapa orang Sumbawa dikenal paling kuat baslaong dan berdebat. Hal tersebut diyakini berasal dari tradisi Tong-len. TR kemudian menghubungkan ajaran Dharmakirti dengan Toponimi nama Pulau Moyo. Ajaran Ratna Sambawa selalu melihat dan memandang realitas sebagai sesuatu hal yang Maya, kata Maya inilah asal kata Pulau Moyo. Lalu di pulau seberangnya terdapat Pulau Satonda yang berasal dari Sat-cit-ananda (Kebenaran-Kesadaran-kebahagian) ketika Moksa, Satcitananda adalah pondasi dasar ajaran Mahayana untuk selanjutnya menuju Shang-Hyang yang kemudian menjadi nama Pulau Sangeang.

TR kemudian melihat salah satu tradisi Sumbawa yang paling original yang hanya dikenal di Nepal dan Tibet. Tradisi tersebut diadaptasi secara kreatif dalam budaya Islam menjadi Sakeco. Tradisi ini berasal dari ajaran Darmakrti di era sebelum Sriwijaya yang kemudian dibawa ke Tibet oleh Atisyah dan terus berlanjut dikembangkan oleh Dalailama. Selanjutnya yang paling identik adalah Saketa yaitu penggunaan suara kerongkongan untuk pemujaan (Ho Ham). Di Tibet Saketa ini dikenal dengan mantra “om mani padme hum” yang samar didengar “Ho Ham”. Mantra ini merupakan ajaran mahayana sebagai induk dari ajaran tantrayana.

KERANCUAN SEJARAH

Meski begitu menarik menyelami alam pikiran TR tentang sejarah nama Sumbawa, namun kita juga harus jujur bahwa meyakini kisah Ratna Sambava sebagai dasar penamaan Pulau Sumbawa penuh dengan kekacauan logika dan basis historis. Semisal bahwa Ratna Sambava atau Padma Sambava yang kini menjadi salah satu Dewa Umat Budha, dalam sejarah dituliskan sudah berumur 1000 tahun saat ke Tibet. Begitu juga menghubungkan Dharmakitri dengan Ratna Sambawa adalah sesuatu yang susah dibuktikan secara ilmiyah. Ratna Sambawa dikisahkan hidup di era sebelum Sriwijaya abad ke 4 M sementara Dharmakitri hidup menjadi Guru Besar agama Budha di era Sriwijaya di tahun 940 M atau abad ke 9. Sementara Atisyah yang dikatakan belajar dari Dharmakitri membangun pusat pembelajaran Budha di Tibet pada abad ke 11. Kisah kisah Ratna Sambawa, Atisyah, Dharmakirti penuh dengan ilusi dan irasionalitas sebagai khas kasanah pemikiran peradaban kuno. Begitu juga pemikiran TR menjadi rancu ketika menggunakan basis kosmologi sebagai Toponimi nama nama Pulau di Sumbawa. Semisal Pulau Moyo diambil dari ajaran Ratna Sambava tentang realitas yang dipandang sebagai sesuatu yang maya, sementara Satcitananda ketika moksa sebagai asal nama pulau Satonda. Menjadi rancu sebagai sebuah kesatuan yang berhubungan karena ajaran tentang realitas sebagai sebuah hal yang Maya merupakan ajaran Budha di masa Ratna Sambava di abad ke 4 M, sementara Satcitananda merupakan istilah moksa dalam term agama Hindu yang berbeda dengan konsep moksa dalam agama Budha. Terakhir, jika benar nama Sumbawa sudah menjadi sebuah nama kesatuan identitas masyarakat sejak abad ke- 4 M di era Ratna sambawa sebagaimana yang dikatakan TR, maka seharusnya kata Sumbawa muncul dalam Kitab Negara Kertagama. Karena dalam salah satu pupuh Negara Kertagama, nama Ratna Sambava muncul. Namun Negara Kertagama menyebut kesatuan identitas masyarakat taklukan Majapahit di pulau Sumbawa dengan Taliwang, Seran, Hutan, Dompo. Ini artinya nama Sumbawa belum muncul di era Majapahit dan Dinasti Dewa Awan Kuning.