Legenda Rakyat DATU MUSENG dan MAIPA DEAPATI

AHMAD ZUHRI MUHTAR

AHMAD ZUHRI MUHTAR

Legenda Rakyat DATU MUSENG dan MAIPA DEAPATI ( Cinta di tengah Imperialisme Makassar )

Siapa tak mengenal kisah Romeo dan Juliet yang dibuat pada masa kerajaan Inggris Elizabethan oleh pujangga paling-dikenal hingga saat ini, William Shakespeare. Meski berakhir tragis, kisah ini tetap dikenang dan sering kali menjadi judul besar dalam kelas-kelas sastra karena memperlihatkan bentuk kesetiaan antara sepasang kekasih. Namun, mari tinggalkan sejenak kisah Romeo Juliet tadi dan mencari apa di Indonesia juga memiliki cerita rakyat bertema perjuangan cinta layaknya karya Shakespeare itu. Di Makassar, Sulawesi Selatan ternyata ada kisah percintaan yang tak kalah dengan Romeo dan Juliet yakni Datu Museng dan Maipa Deapati.

Kisahnya dimulai dari Kerajaan Sumbawa di mana putri Sultan Sumbawa Maggauka, Maipa Deapati telah menghilang dari bilik istananya dan diketahui kemudian telah dibawa oleh Datu Museng, putra berdarah Makassar yang terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya sejak umur 3 tahun dan menetap di Sumbawa. Karena politik adu-domba kolonialisme Belanda yang menyebabkan kekacauan di Makassar antara keluarga Datu Museng dan Karaeng Galesong (Tetua Galesong), Datu Museng dan kakeknya pergi meninggalkan Makassar.

Ketika Datu Museng dan istrinya pergi ke Makassar karena perintah Maggauka, Ia diperintahkan untuk menyelesaikan masalah ulah Datu Jareweh yang berkhianat untuk menguasai Sumbawa, dan dalangnya, pemerintah Belanda di bumi Makassar. Tumalompoa (Kapten) Belanda yang ditugaskan untuk mengawasi kelangsungan pemerintahan kolonial di Makassar menantang Datu Museng dan menginginkan Maipa Deapati. Militer Belanda dan Pasukan Galesong yang berhasil dihasut oleh Belanda mengepung kediaman Datu Museng. Merasa dalam keadaan terdesak dan ketakutan atas kekejaman Tumalompoa Belanda, Maipa Deapati meminta Datu Museng mengambil nyawanya sendiri. Suasana pedih dan haru tercipa ketika Datu Museng menyubitkan keris kecilnya dan meninggalkan luka sobek di leher Maipa. Maipa yang lunglai di pangkuan Datu Museng dibaringkan kemudian.

Secara garis besar, cerita DMMD ini terbagi atas dua peristiwa besar. Pertama, bagaimana usaha Datu Museng yang sebelumnya telah memperdalam ilmu agama di Tanah Suci Mekkah dan kembali untuk menikahi Maipa meski harus menghadapi ancaman perang dari dua Kerajaan, Sumbawa dan Lombok. Maipa Deapati, yang sudah jatuh hati kepada Datu Museng ternyata telah ditunangkan dengan putra Kerajaan Lombok sejak kecil, Pangeran Manngalasa. Dikenal sakti dan tangguh, Datu Museng mengalahkan Manngalasa dan dengan restu Kerajaan Sumbawa Datu Museng dan Maipa Deapati menikah.

Cerita diakhiri saat Datu Museng tertikam oleh tombak Karaeng Galesong. Pertarungan saudara Makassar-Bugis yang dimanfaatkan oleh kolonial Belanda dengan tujuan memonopoli perdagangan di kawasan Makassar. Kata-kata terakhir Datu Museng ketika tertancap tombak,

“Karaeng Galesong, semoga hanya engkaulah Mangkasara’ yang mata hatinya digelapbutakan oleh orang-orang yang mau menjajah kita. Maipa Deapati, kasihku, selamat berjumpa.”

Semangat Anti-Imperialisme dalam Romansa DMMD

Sejarah peradaban Indonesia memang telah mencatat bahwa kolonialisme-imperialisme adalah sebab utama kehancuran dan kemunduran bangsa ini. Pemerintah kolonial Belanda, Portugis, dan Inggris, juga beberapa negara lain pernah berusaha mengusai nusantara, berbagai cara licik digunakan, seperti perampasan tanah, ancaman militer, kerja paksa, hingga politk adu-domba. Terlepas dari kisah cinta yang tragis, lewat tokoh Datu Museng kemudian dikisahkan tidak suka dengan gaya berdagang pemerintah kolonial Belanda di Makassar yang menginginkan monopoli perdagangan. Gaya ini juga ditentang oleh, Kerajaan Gowa, kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan paling menentang Belanda dan menjadi sahabat kerajaan-kerajaan nusantara yang menginginkan persatuan, termasuk Kerajaan Sumbawa.

Sebelumnya, legenda rakyat Datu Museng dan Maipa Deapati pernah dibuat dalam bentuk novel roman oleh Verdy R Baso tahun 1967, dan pada 1975 dipentaskan dalam format drama yang naskahnya disusun oleh Fahmi Syarif. Terdapat beberapa versi legenda ini. Meski tak sepopuler Romeo dan Juliet cerita ini masih terus dibisikkan orang-orang tua kepada anak-anak mereka berharap semangat perjuangan cinta kasih dan merdeka bisa berkobar tak hanya di atas panggung-panggung teater.

“Datuku, jangan ragukan ketulusan Maipamu. Aku rela pergi mendahuluimu, merintis jalan menuju tempat yang telah ditentukan oleh Maha Pencipta. Junjunganku Datu, aku rela mati di tanganmu. Tuhan jadi saksi, bahwa kuharamkan kulitku ini disentuh Balandaya (Belanda).“ – Maipa Deapati

Di Makassar cerita ini begitu melagenda hingga diabadikan sebagai nama jalan di Kota Makassar. Di Sumbawa..asal Maipa Deapati .. sedikit sekali yang tahu.