Oleh : Ihin Utan
Kalau pada tulisan yang lalu saya memperkenalkan SITUS BATU GONG sebagai jejak sejarah penyebaran agama hindu di samawa ano rawi maka kali ini saya ingin memperkenalkan SITUS KUBURAN BATU yang sangat unik sebagai jejak sejarah masuknya penyebaran agama islam di serambi kerajaan utan kedali atau oleh empu prapanca dalam negara kertagama (terjemahan) dalam pupuh 15 disebut Utan Kedali dengan “hutan kendali”.
Situs kuburan batu ini berlokasi di dusun labuan bua desa pukat kecamatan Utan. Kalau ditarik garis lurus dari lokasi batu gong maka jaraknya sekitar 2 KM kearah utara sekitar 200 meter dari pantai. Dulu tempat itu dikelilingi oleh tembok berbentuk benteng tapi saat ini benteng tersebut sudah runtuh tapi bekas pondasinya masih tersisah. Menurut perkiraan bahwa kuburan itu merupakan kuburan para penyebar islam dari timur tengah yang masuk melalui pelabuhan dusun bua.
Tidak dapat diketahui dengan pasti tahun keberadaan makam kuburan batu ini namun dapat diperkirakan dari sejarah pengislaman kerajaan sumbawa mulai dari masuknya kerajaan goa kesumbawa melalui penaklukkan sekitar tahun 1618 – 1623 M atau sejak berakhirnya kekuasaan dinasti dewa maja paruwa dengan raja terakhir dewa mas goa dan diawali dengan berkuasanya dinasti dewa dalam bawa pada tahun 1675 M.
Situs kuburan batu ini yang tersebar banyak diatas makam sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai obyek penelitian kalangan pendidikan terutama siswa SMA karena sangat unik dan menarik dimana pada batu nisannya yang tingginya sekitar 1 meter terdapat ukiran ukiran yang hampir mirip dengan batu nisan pada kuburan wakil patih gajah mada yang terdapat diseran.
Keberadaan kuburan para penyebar islam inipun sangat melekat pada tradisi religius masyarakat labuan bua sebagai masyarakat pebiring (daerah pesisir) yang setiap tahunnya selalu melaksanakan tradisi “sedeqah orong” (syukuran agar panen padi melimpah) . Sementara ditempat lain diwilayah baris samawa ano rawi tradisi sedeqah orong ini hampir punah.Tradisi semacam ini kalau dibaris samawa ano siup seperti dimoyo disebut ponan.
Kali terakhir saya kesana, menurut penuturan masyarakat sekitar lokasi makam itu tetap mereka rawat kebersihannya secara adat dan gotong royong. Tapi alangkah baiknya kalau ada kepedulian dari pemerintah daerah untuk merawatnya sebagai cagar budaya.